Soalnya, percuma kalau lo baca novel ini
tapi ngga pernah ngerasain cinta. Mendingan lo sekarang tutup novel ini, terus
baca buku lain misalnya tentang budi daya ikan mas atau lele atau sejenisnyalah,
yang mungkin bisa menolong lo dari kehampa’an (cuma saran). Karena percuma, lo
ngga bakal dapet makna dari kisah temen gue ini yang kurang lebih 5-7 menit kedepan
bakal gue ceritain gimana ketragisan dan kenyesekannya. (lebay lo penulis)
Sip, kita lanjut lagi tentang cinta. Katanya,
cinta itu bisa ngebuat rasa sakit jadi nikmat, rasa hampa jadi berwarna, dan
rasa damai jadi tentram (sama aja woii!!). Oke, tapi, apa itu bener? Nah, saat
pertanyaan ini gue tanya ke temen sekelas gue. Dia bilang,
“Tergantung nasibnya” jawabnya dengan
santai.
“lho, ko? Bales gue keheranan.
“Iya, tergantung apakah nasib baik
berpihak pada dia atau enggak. Karena kalau orang tersebut mencintai orang yang
salah, pasti yang terjadi adalah kebalikan dari teori yang lo tanyain ke gue
tadi” jawabnya lagi.
“Ooh,, gitu yaa” Balas gue dengan muka sok
paham.
Tapi, setelah gue pikir-pikir. Jawaban
dari temen gue tadi itu bener juga. Keindahan dari cinta baru terasa ketika
kita mencintai orang yang tepat, yang bisa menghargai pengorbanan dan usaha
kita. Sehingga dia bakal balik sayang dan respect
ke kita. Kalau sebaliknya? Hmm… Siap-siap aja isi dompet lo bakal diludes sama
dia. Dan lo ngga bakal dapet apa-apa. Catet! Percaya deh, kalau kita mencintai
orang yang salah, sekalipun kita persembahkan dua ember air mata kita buat dia,
dia bakal pake itu cuma buat ngebilas kloset di rumahnya. Ngga mau kan?
Terus, maksud dari judul novel ini apa? Aslinya,
novel ini berjudul “Let it Go”. Namun, suatu malem yang gue lupa itu tanggal
berapa, gue iseng-iseng buka twitter dengan menggunakan HP putih gue yang
sekarang umurnya udah 2 tahun (sekarang lagi belajar jalan *loh) sebagai
aktifitas rutin gue sebelum tidur. Ngga lupa berdoa tentunya.. Tiba-tiba,
muncul tweet di TL gue yang bertuliskan “#Aku rapopo”. Entah ilham dari mana,
karena mungkin saat itu juga gue udah ngantuk, akhirnya gue memutuskan untuk
mengganti judul novel gue menjadi “Aku rapopo”. Tweet itu bukan sembarang
tweet, melainkan tweet dari temen gue ini yang sebentar lagi bakal gue ceritain
kisahnya. Selain itu, kata “Aku rapopo” emang lagi trending di twitter. Nah, kata
“Aku rapopo” ini sendiri berasal dari bahasa jawa yang kalau di-translet ke bahasa indonesia, artinya
“Aku tidak apa-apa” atau “Aku baik-baik saja”. Biasanya kata-kata ini dipake
saat seseorang mencoba menutupi rasa sakit hati entah karena gagal jadian,
diputusin, diselingkuhin, atau berbagai hal tragis lainnya. Dan kebetulan, kata
“Aku Rapopo” ini cocok banget sama kisah temen gue yang satu ini. Maka dari itu
tanpa mikir panjang langsung aja gue putuskan “Aku Rapopo” sebagai judul novel
ini.
Oh ya, satu lagi. Lalu, dari mana asal
sub-judul “432 Jam 52 Menit 11 Detik”? Untuk yang ini, jawabannya ada di dalam
novel ini. Jadi, Selamat Membaca! Hehe..
Eiitss… tunggu dulu. Untuk informasi, di
cerita ini “gue” memposisikan diri sebagai teman gue. Karena, kalau gue
ceritanya dari sudut pandang orang ketiga, otomatis gue harus selalu bilang
“Dia”. Dan novel ini bukan lagu afgan yang isinya “Dia..dia..dia”. Makanya gue
menggunakan sudut pandang orang pertama disini. Okee.. Sekali lagi, Selamat
Membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar